Kamis, 14 Oktober 2010

Edisi PERDANA | Generasi #3

# ESAY
PERSAHABATAN

“Persahabatan bagai kepompong…” banyak lah yaw rangkaian kata indah terangkai menjadi sebuah makna persahabatan. Sahabat adalah harta yang paling berharga yang tak dapat dibeli ataupun dijual apalagi ditawar. Sahabat itu……. Bisa diartikan segala-galanya hidup. Yup betul sekali. Seumpamanya, kalau salah satu bagian tubuh kita kesakitan, otomatis bagian yang lain ikut merasa, apalagi kalau amat sangat terasa sakit, mulut ini dijamin takkan bisa diam dech, bisanya hanya ngomel-ngomel melulu sepanjang harinya “aduuuuuuuududuh, sakit sakitnyua amat sekali”. Tapi, bagian yang lain juga tak mau kalah, mereka mencoba memberi pertolongan terhadap bagian yang sakit itu, jadi kalau sahabat itu sakit, jangan ikut-ikutan sakit dong, Ah kamu itu. “Bersabarlah teman, tenangkan hati dan jiwamu, jangan menangis, semuanya pasti kan baik-baik saja.”
Harus selalu berjuang dan jangan pernah putus asa untuk selalu membuat sahabat kita tersenyum bercahaya disepanjang harinya, bahagia mereka bahagia kita jugakaaan, tangis mereka juga tangis kita, susah kalau sahabat kita punya masalah, apalagi kita tak bisa memberi solusi terbaik buat sahabat kita. Ulurkan tanganmu, bantu mereka berdiri dengan iringan sapaan senyum yang hangat, seolah kita memberi harapan yang begitu besar agar hari-hari sahabat kita selalu cerah. Peluklah sahabat kita dan usaplah air matanya, jangan biarkan sahabat kita menangis dalam kepiluannya selalu. Ajaklah mereka dalam kebahagiaan dan renungan, betapa besar cinta Allah selalu berikan kepada kita, betapa sayangnya Allah selalu berikan kepada kita. Bersyukur kita mempunyai sahabat yang begitu setia menemani keseharian kita. Selalu menghargai satu sama lain, selalu memberi semangat mencoba tuk memberikan yang terbaik, tak luput dari curhat, tak luput dari canda, tawa, duka, haru, penyesalan, bahagia, keberhasilan, ah apalah, mereka selalu bertukar curhatan. Kalau kita mampu mengerti perasaan sahabat kita sebelum mereka mencurhatkan semua isi hatinya pada kita, subhanallah dan insyaallah kita kan jadi best friend forever.
Kalau sahabatku melompat ke dalam jurang, aku tak akan mengikuti mereka, aku akan berada didasar jurang untuk menangkap mereka. Sahabat, janganlah engkau berjalan didepanku, aku tak dapat mengikutimu dan janganlah engkau berjalan dibelakangku, aku tak dapat memimpinmu. Berjalanlah disampingku, dan jadilah kita sahabat selamanya. Aku akan membimbingmu dan kamupun jua.
Because you make me be happy, itulah hari dimana tak akan kulupakan seumur hidupku.

http://www.emocutez.com

#CERPEN
Sebuah Kebenaran
oleh
Tursina I.N.A ( SMKN 6 Surakarta )

Nina menitikkan air matanya saat mengusap batu nisan yang menancap di tanah pekuburan tempat kakak yang disayanginya memasuki dunianya yang berbeda.
“Kak, semuanya berbeda setelah kakak pergi. Aku kesepian tanpa kakak. Kenapa kakak ninggalin aku sendiri? Rasanya baru kemarin aku menyambut kakak saat baru pulang dari Australia. Tapi sekarang...”
Nina tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Air matanya mengalir membasahi pipinya. Ia kembali teringat kenangan manis saat bersama kakak yang sangat ia sayangi. Kakak yang sebenarnya bukanlah kakak kandungnya.

“Nina, kamu lagi ngapain?”
“Kak Odist, tolong bantuin Nina dong!” Nina menatap kakaknya dengan mata berkaca-kaca, hampir menangis.
“Bantu ngapain? Kamu lagi nyari sesuatu ya? Kok pake acara ngintip-ngintip kolong lemari segala?” Tanya kak Odist dengan senyumnya yang ramah. Ia berjongkok disamping adiknya.
“Iya ni. Nina lagi nyali matanya Tyo yang ilang. Kasihan Tyo, nanti nggak bisa liat kalau matanya cuma satu”. Nina mengelus boneka beruang bermata satu yang sedari tadi ia dekap.
“Oh, iya deh, kakak bantu nyariin”. Kak Odist mengintip ke bawah kolong lemari. “Kok bisa ilang sih?” tanyanya kemudian sambil terus mencari.
“Mata Tyo yang satu itu emang udah mau copot. Tadi Nina mau ngajalin Tyo telbang. Nina ngelempal Tyo keatas, telus ada yang jatuh. Waktu Nina peliksa, mata Tyo tinggal satu. Tapi Nina cali matanya nggak ketemu” Nina mulai menangis. “Maaf ya Tyo, gala-gala Nina, mata Tyo ilang satu” katanya kemudian.
Kak Odist hamper tertawa mendengar cerita adiknya. Namun begitu Nina menangis, ia langsung menenangkan Nina. “Nina sayang, jangan nangis, yah. Pasti ketemu kok. Kan ada kakak yang bantu nyariin. Lagian, ini bukan salah Nina. Tyo pasti senang kalau diajarin terbang sama Nina” hiburnya, sambil membelai lembut rambut adiknya. Nina selalu bias tenang ketika melihat senyum kakaknya itu.

Nina masih bias mengingat kejadian saat ia masih berusia empat tahun itu. Mereka akhirnya tidak bias menemukan mata Tyo. Nina terus menangis, sampai akhirnya kak Odist memasangkan bros kecil berbentuk hati yang berwarna pink ke tempat mata Tyo yang hilang. Sampai sekarang Nina masih menyimpan Tyo yang terlihat seperti sedang jatuh cinta dengan satu matanya yang berbentuk hati.
Kenangan itu terbayang bersama kenangan-kenangan indah lainnya. Kenangan saat kak Odist menyanyikan lagu Ninabobo setiap akan tidur ketika ia masih kecil, saat tersesat bersama di Borobudur, saat jatuh dari pohon jambu dirumah nenek, dan semua kenangan tentang kak Odist yang sangat Nina kagumi.
Diusapnya sekali lagi batu nisan yang ada dihadapannya. Meskipun kak Odist hanyalah kakak angkatnya, namun perasaan sayang ini terlalu besar. Tentu saja, karena kak Odist telah menemani lima belas tahun hidupnya. Nina pun baru tahu kalau mereka bukan saudara kandung, setelah ibu menceritakannya setahun yang lalu, seminggu sebelum kak Odist berangkat ke Australia. Ketika orang tuanya belum juga dikaruniai anak, mereka mengadopsi kak Odist dari panti asuhan yang ketika itu berusia satu tahun. Barulah setelah lima bulan kemudian, ibunya mengandung Nina. Kak Odist sebetulnya sudah mengetahui ini sejak berusia sepuluh tahun. Tapi entah kenapa, ia dan orang tua Nina tidak mengatakan kebenaran ini pada Nina sampai setahun kemarin.
Nina bangkit berdiri setelah beberapa menit mendoakan kakaknya, lalu melangkah pergi meninggalkan pemakaman itu.
***
Ketika hendak masuk kamar, Nina menoleh ke pintu disebelah kamarnya. Ia mendekati pintu itu. Pintu yang didalamnya tersimpan banyak kenangan suka dan duka bersama kakaknya. Nina memang meminta orang tuanya untuk membiarkan kamar kak Odist tetap seperti saat terakhir pemiliknya tinggal. Sudah seminggu sejak kematian kak Odist, ia tak menyentuh kamar itu. Nina ragu sebentar, lalu mendesah pelan. Ia memutar kenop dan membuka pintu kamar yang bertuliskan sebuah nama “Odista” itu.

“Kak Odist !!” teriak Nina begitu melihat kakaknya duduk di sofa ruang tamu. Dipeluknya kakak kesayangannya itu erat-erat sebelum kak Odist sempat berkata-kata.
“Hello Nina. Kakak udah nungguin kamu dari tadi. Kamu tambah tinggi aja” kata kak Odist, begitu Nina melepas pelukannya.
“Iya lah, kak. Baru juga sebulan kemarin ulang tahun kelima belas”. Nina duduk disamping kakanya sambil meletakkan tas dan melepas sepatu sekolahnya. Baru sekali ini kak Odist melihatnya memakai seragam SMA. “Sebagai ganti hadiah ulang tahun kemarin, kakak harus certain tentang kehidupan kakak selama di Australia. Ngobrol banyak deh pokoknya, oke?” kata Nina bersemangat.
“Eh, eh. Kakak kan masih capek” sahut ibunya saat meletakkan sepiring biscuit ke meja.
“Nggak apa-apa kok, bu. Odist juga pengen cerita banyak”
Malam harinya dikamar kak Odist, Nina dengan semangatnya menyimak cerita-cerita seru dari kak Odist selama kuliah hampir setahun di negeri kangguru. Tak banyak yang berubah dari kakanya itu. Hanya saja, ia tampak lebih kurus dan pucat. Mereka terus mengobrol sampai akhirnya Nina tertidur pulas.

Entah mengapa, bayangan masa lalu itu muncul begitu Nina menginjakkan kaki dikamar itu. Ia memandang sekeliling kamar dan mendekati meja disamping tempat tidur. Diraihnya foto ketika ia dan kak Odist sedang bermain air di Pantai Parangtritis beberapa bulan yang lalu. Nina duduk ditepi ranjang, membuka laci meja dan menemukan sebuah buku tebal didalamnya. Ia tak menyangka, ternyata kakaknya masih menyimpan rapi buku harian pemberiannya. Nina membuka halaman pertama dan menemukan tullisan tangan kak Odist disana.

2 April 2007 21:00
Hari ini ulang tahunku yang ke-17. Dan buku ini adalah hadiah dari adik yang kusayangi, Nina. Ini pertama kalinya aku menulis buku harian. Habis sayang juga kalau bukunya nggak kepake’.
Ayah dan ibu memberiku hadiah sepeda motor. Beruntungnya aku mempunyai keluarga seperti mereka. Pokoknya, aku saying banget sama keluargaku, terutama Nina.

Nina tersenyum membacanya. Lalu membuka-buka halaman demi halaman. Dihalaman delapan, tertulis…

3 Juni 2007 21:00
Sudah lima hari ini perasaanku semakin aneh saja. Aku memang menyayanginya, tapi kenapa rasa sayang ini semakin berubah? Setiap ada didekatnya, jantungku berdebar, padahal sebelumnya biasa saja. Apakah karena ia semakin tumbuh dewasa dan terlihat semakin…cantik? Aku takut mencintainya. Itu tak boleh terjadi.

Nina mengernyitkan dahinya.”Kenapa cinta itu tak boleh terjadi kalau kakak memang menyukai gadis itu?” pikirnya. Jantungnya berdegup cepat. “Kak Odist nggak pernah cerita kalau ia suka sama cewek” pikirannya membuatnya semakin penasaran. Dicarinya tulisan yang menyangkut kisah cinta kakaknya sambil bergumam cepat. “Aku tak bias membohongi perasaanku…Nah, ini dia”

28 Juni 2007 21:20
Aku tak bisa membohongi perasaanku lagi. Aku memang mencintainya. Ini tak mungkin dan tak boleh terjadi, tapi inilah kenyataannya. Aku mencintai adikku, Nina. Kami memang bukan saudara kandung, tapi ini tetap saja tidak pantas. Selama ini aku telah menjadi kakanya. Dan apa kata ayah ibu nanti?
Nina juga tidak mungkin bisa membalas perasaan ini. Ia pasti sudah menganggapku seperti kakak sendiri dan tidak mengkin ada rasa cinta seperti yang aku rasakan ini. Aku tidak mau perasaan ini menggangu persaudaraan kami. Dan aku tidak akan mengutarakan cinta ini padanya.

Nina membeku menatap tulisan dihadapannya. “Bohong” katanya lirih, sambil membekap mulutnya. Ia tak dapat menahan air matanya yang mulai menetes lagi. Ia tak percaya kalau kak Odist ternyata mencintainya. Kak Odist –juga- mencintainya. Perasaan yang selama ini Nina pikir tak akan pernah terbalas, ternyata kak Odist juga merasakannya, dengan alasan yang sama pula.

6 Juli 2007 21:30
Hari ini, aku menerima surat yang menyatakan aku lulus tes dan mendapatkan beasiswa kuliah di Australia yang diajukan ayah bulan lalu. Bulan depan sudah berangkat. Berat rasanya berpisah dengan keluarga, apalagi dengan Nina. Tapi mungkin ini cara terbaik agar aku bias melupakannya.

Air mata Nina semakin deras menetes. Ia ingat saat kak Odist pergi ke Australia, hatinya kacau dan terus merindukan kakaknya. Rasa rindu terbesar yang pernah ia rasakan dan ia menyadari kalau itu bukan rindu biasa melainkan rindu sebuah cinta yang tulus.

8 November 2007 20:00
Sudah tiga bulan aku manjalani masa kuliahku di Australia ini, tapi tak sedikitpun aku bisa melupakan Nina. Sakit rasanya, jika sebuah rindu harus dilupakan dengan paksa.
Dua hari lalu, vonis dokter menyatakan kalau aku menderita leukemia. Aku semakin bingung. Aku ingin pulang. Cobaan ini sangat berat untukku. Aku ingin bertemu keluargaku. Tapi…akh pusing !

3 Agustus 2008 23:00
Senang sekali rasanya bisa kembali ke rumah dan kamar yang sangat kurindukan ini. Aku bertemu Nina, gadis yang selama ini terus hadir dimimpiku. Ia begitu semangat mendengar semua ceritaku tadi, sampai tertidur di kamar ini.
Setelah Nina tidur, aku memberitahukan tentang penyakitku pada ayah dan ibu. Aku sudah menduga, mereka akan sedih begitu mendengarnya. Bulan depan, mereka akan mencabut masa kuliahku di Australia karena mengkhawatirkanku.

20 September 2008 22:00
Hari ini, aku mengajak Nina ke Pantai Parangtritis, naik bus. Menyenangkan sekali.
“kenapa kakak menyembunyikannya dariku?” sebuah pertanyaan yang membuatku terkejut. Nina ternyata sudah tahu penyakitku ini. Aku tahu Nina pasti sangat sedih, tapi ia menyembunyikannya.
Aku tak bisa bicara apa-apa. “kakak pasti bisa sembuh”. Hanya itu yang Nina katakan dalam senyumnya.

5 Desember 01:00
Penyakitku semakin parah. Hari ini aku dirawat dirumah sakit setelah kemarin siang pingsan. Padahal aku sudah menjalani pengobatan. Mungkin sebentar lagi, aku akan meninggalkan dunia ini. Meninggalkan ayah, ibu, juga Nina. Memang sudah takdirnya, cintaku berakhir sampai malaikat mencabut nyawaku.

Air mata Nina menetesi halaman buku yang dipenuhi tetesan darah yang sudah kering dan menghitam. Kak Odist pasti mimisan saat menulisnya. Halaman berikutnya kosong. Ternyata malam itu, terakhir kalinya ia menulis di buku harian itu. Tepat satu lembar kosong, sampai halaman terakhir buku itu.

“Nina adikku, jadilah gadis yang kuat dan penuh semangat” kata kak Odist lirih, sambil berbaring di kasur rumah sakit. Nina menggenggam erat tangan kakaknya. Kak Odist memejamkan matanya sebentar, merasakan sakit yang menjalar di tubuhnya.“Mungkin sudah hampir tiba saatnya dan mungkin ini terakhir kalinya kita bisa saling bicara”
Nina menggeleng pelan.”Tidak. hari esok pasti masih ada buat kakak”. Nina menangis. Ia semakin mempererat genggamannya. “Aku hubungi ayah dan ibu dulu” Nina hendak meraih handphone dimeja, namun tangan kak Odist mencegahnya.
“Cukup kau saja, Nina” kata kak Odist lebih lirih.”Sampaikan terima kasihku pada ayah dan ibu”. Suasana hening sejenak, hanya terdengar sesenggukan tangis Nina.”Nina, kamu percaya? Sesuatu yang kita sembunyikan pasti akan terkuak juga?” Tanya kak Odist. Nina hanya mengangguk meski ia tak mengerti maksud perkataan kakanya itu. “Kalau begitu, kakak juga percaya kalau suatu saat kau akan mengetahuinya. Tapi kakak akan mengatakannya sekarang”
“Apa itu kak?” Tanya Nina sambil menahan tangis.
“Kakak saying Nina” kata kak Odist sambil tersenyum tulus.
“Aku juga sayang…banget sama kakak” Nina hampir berteriak. Ia memeluk kakaknya yang terbaring lemah. Dan saat itulah, kak Odist meninggalkan Nina untuk selamanya, dengan senyuman yang mengembang dibibirnya.

Akhirnya, Nina mengerti semuanya. Semua kebenaran tentang orang yang sangat ia cintai. Kebenaran bahwa kak Odist bukanlah kakak kandungnya, kebenaran tentang kata-kata terakhirnya, bahwa kak Odist mencintainya, dan kebenaran bahwa cinta itu kini telah tiada. Dibalik cover belakang buku harian itu, tertempel sebuah foto. Foto saat Nina, kak Odist, ayanh dan ibu sedang tertawa bahagia. Dibawah foto itu, tertulis sebuah puisi.

Ayah adalah pedang bagiku
Yang memberiku kekuatan untuk terus hidup
Ibu adalah perisai bagiku
Yang melindungiku dimanapun aku berada
Dan Nina, ia adalah jantungku
Aku akan mati tanpanya
Terima kasih semuanya…
Bersama kalian, aku tak akan kalah
Menghadapi peperangan hidup ini

Vani Odista

“Aku juga mencintaimu, kak”
Hanya kata itu yang dapat Nina ucapkan. Ia menghapus air matanya. Dipeluknya erat-erat buku harian berwarna cokelat itu. Baginya, buku itu bukanlah sekedar buku harian melainkan sebuah kebenaran. Kebenaran tentang orang yang sangat ia cintai, yang terkisah rapi didalamnya. Dan kebenaran itu tak akan pernah hilang dari ingatannya.

http://www.emocutez.com

#PUISI

BINTANG

Bintang…Bintang
Yang menerangi Dimensi kegelapan
Tinggi..Tinggi dibalik awan
Yang bersinar indah harapan

Bintang hadir setiap malam
Temani malam bersama bulan dan awan
Buat semua manusia terpana akannya

Jika aku punya permintaan
Aku ingin jadi bintang
Yang indah,terang,kecil menawan


Andrew St.yosef


Jejak-Jejak Kerikil

Arang pun hitam
Karena kobaran sang api....
Menusukku hingga
Ke sumsum tulang belakangku
Perih....
Tanpa ada setitik rasa yang tersisa,
Arang yang menjelma
Menjadi abu pun pergi,
Berbaur dengan Sang Mega yang mendung...
Meninggalkan jejak-jejak kerikil
yang Menyiksa,
Jahat!
Kejam!
Tak berperi...
Pfuh..., sedemikian kejamkah rasa acuhmu
Dan sikap sombongmu terkontaminasi
Dalam waktu yang tak berdetak?!

-LianZ-
SMA MTA SKA

http://www.emocutez.com

1 komentar: