Sabtu, 27 Maret 2010

Dibalik Batik

Walau hanya sekejap, warga kota Solo mampu dibius oleh warna-warni pesona dari parade Solo Batik Carnival 2 yang beberapa bulan yang lalu membawa kota Solo ke kancah event internasional. Berjejer dan saling berdesakan menanti dengan sabar para peserta karnaval Batik menyusuri tiap senti jalan Slamet Riyadi Solo. Sejak matahari naik sepenggalah hingga adzan magrib menggema di langit sore kota Solo, warga datang dan pulang setelah puas mengagumi aneka kekayaan batik yang dimiliki oleh tanah kelahirannya. Riuh musik pengiring parade mengiringi peserta parade dengan dandanan meriah ditambah wajah penuh body painting; semeriah pakaian batik yang mereka kenakan.

Sekarang tak hanya Tanah Air, dunia Internasional pun tahu bahwa Batik adalah kebudayaan asli milik Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak diresmikan oleh PBB pada tanggal 2 Oktober 2009. Kota Solo yang dikenal kental dengan slogan Solo The Spirit of Java menjadi ramai akan agenda pagelaran Batik. Hal ini membuat kota Solo kebanjiran pesanan kain Batik baik dari domestic maupun mancanegara. Tak hanya pabrik-pabrik batik terkemuka, usaha rumah tangga yang berkecimpung dalam pembuatan batik menjadi juga disibukkan oleh tingginya pangsa pasar akan kain batik. Terus, terus, dan terus berproduksi.

Hingga tanpa kita semua sadari tak hanya produksi kain batik, tetapi produksi akan limbah batik pun semakin meningkat tajam. Limbah batik itu sendiri terdiri dari limbah padat –berupa potongan kain perca dan limbah cair. Jika kita lihat disekitar kita, limbah padat telah mampu diolah secara maksimal oleh masyarakat menjadi aneka buah tangan yang unik. Akan tetapi bagaimana dengan kabar limbah cair batik?

Limbah cair batik diperoleh dari proses pewarnaan, pemasakan serta pelorotan. Karena dinilai tidak memiliki daya guna, acap kali limbah cair batik ini dibuang begitu saja ke aliran sungai terdekat. Pembuangan limbah yang tidak kenai perlakuan apapun membuat limbah tsb menjadi polutan ketika telah berada di alam bebas. Apalagi pewarna yang digunakan adalah pewarna dari bahan kimia –meski pewarna dari bahan alam (teger, tingi, jambal) juga mencemari lingkungan meski konsentrasi pencemaran rendah. Pewarna dari bahan kimia pun lebih populer dan disukai lantaran penggunaannya yang mudah serta harganya yang murah.

Untuk mengatasi pencemaran berkelanjutan ini, pemerintah mewajibkan pada para pengusaha batik untuk menerapkan IPAL (instalasi pengolahan air limbah) pada pabriknya. Akan tetapi pembuatan IPAL yang memakan biaya banyak serta adanya pandangan bahwa hasil olahan dari limbah batik cair itu tidak memiliki kegunaan apapun –membuat kebanyakan pengusaha batik malas untuk menerapkan sistem IPAL. Sedangkan IPAL fasilitas dari pemerintah kota Solo sudah tentu tidak mampu menampung limbah cair dengan kuota hampir lebih dari 150 pabrik batik yang ada di kota Solo.

Ya, siapa sangka dibalik warna-warni keindahan batik ternyata tersimpan duka mendalam terhadap alam? Jika sudah begini, relakah kita membiarkan limbah-limbah cair batik tsb mewarnai sungai-sungai di kota Solo seperti teger, tingi dan jambal mewarnai Batik yang kita banggakan? (Fata Hanifa)

Solo , 20122009
Refleksi Siswa Atas Kecintaannya Kepada Budaya Bangsanya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar